SEJARAH TAMAN NASIONAL BALI BARAT
Sejarah Kawasan
Pada tanggal 24 Maret 1911 seorang biologiawan dari Jerman, Dr. Baron Stressman yang terpaksa mendarat karena kapal Ekspedisi Maluku II rusak di sekitar Singaraja selama ± 3 bulan, menemukan burung Jalak Bali sebagai spesimen penelitiannya di sekitar Desa Bubunan ± 50 Km dari Singaraja. Kemudian pada tahun 1025 dilakukan observasi intensif oleh Dr. Baron Viktor von Plesen, atas pendapat Stressman yang melihat Jalak Bali sangat langka dan berbeda dengan jenis lain dari seluruh spesimen yang dia peroleh, dan diketahui penyebaran Jalak Bali hanya mulai Desa Bubunan sampai ke Gilimanuk seluas ± 320 Km2.
Untuk melindungi keberadaan spesies yang sangat langka yaitu burung Jalak Bali dan Harimau Bali, berdasarkan SK Dewan Raja-Raja di Bali No.E/I/4/5/47 tanggal 13 Agustus 1947 menetapkan kawasan hutan Banyuwedang dengan luas 19.365,6 Ha sebagai Taman Pelindung Alam / Natuur Park atau sesuai dengan Ordonansi Perlindungan Alam 1941 statusnya sama dengan Suaka Margasatwa.
Kawasan hutan Bali Barat dipandang memenuhi syarat untuk pengembangan hutan tanaman dibandingkan dengan bagian lain di Propinsi Bali (Menurut Brigade VIII Planologi Kehutanan Nusa Tenggara Singaraja, Tahun 1974). Sehingga sejak tahun 1947/1948 sampai dengan 1975/1976 di RPH Penginuman telah dilakukan pengembangan hutan tanaman dengan jenis Jati, Sonokeling, dan rimba campuran seluas 1.568,24 Ha. Tahun 1968/1969 sampai dengan 1975/1976 dikembangkan hutan tanaman Kayu Putih dan Sonokeling di RPH Sumberkima serta pada tahun 1956/1957 di RPH Sumberklampok telah dilakukan penanaman Sawo Kecik, Cendana, Bentawas, Sonokeling, dan Talok seluas 1.153,60 Ha. Dalam pelaksanaan penanaman ini dilakukan perabasan dan eksploitasi beberapa jenis hutan evergreen Sumberrejo dan Penginuman dan tebang pilih hutan alam Sawo Kecik di Prapat Agung.
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDh Tk. I Bali No. 58/Skep/EK/I.C/1977 tahun 1977 tanah Swapraja Sombang seluas 390 Ha ditambahkan ke dalam kawasan sebagai pengganti kawasan yang terpakai untuk pembangunan Propinsi Bali dan kemudian SK Menteri Pertanian No. 169/Kpts/Um/3/1978 tanggal 10 Maret 1978 menetapkan Suaka Margasatwa Bali Barat Pulau Menjangan, Pulau Burung, Pulau Kalong dan Pulau Gadung sebagai Suaka Alam Bali Barat seluas 19.558,8 Ha.
Deklarasi Menteri Pertanian tentang penetapan Calon Taman Nasional Nomor 736/Mentan/X/1982 kawasan Suaka Alam Bali Barat ditambah hutan lindung yang termasuk ke dalam Register Tanah Kehutanan (RTK) No. 19 dan wilayah perairan sehingga luasnya mencapai 77.000 Ha terdiri dari daratan 75.559 Ha dan wilayah perairan ± 1.500 Ha. Namun pengelolaan UPT Taman Nasional Bali Barat sesuai SK Menteri Kehutanan No. 096/Kpts-II/1984 tanggal 12 Mei 1984 secara intensif hanya seluas 19.558,8 Ha daratan termasuk hutan produksi terbatas (HPT) dengan pembagian zonasi Zona Inti, Zona Rimba, Zona Pemanfaatan, dan Zona Penyangga.
Adanya konflik kewenangan di dalam kawasan TNBB, dimana pengelolaan HPT seluas 3.979,91 Ha adalah kewenangan Dinas Kehutanan Provinsi Bali, sehingga berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 493/Kpts-II/1995 tanggal 15 September 1995 luas Taman Nasional Bali Barat hanya sebesar 19.002,89 Ha yang terdiri dari 15.587,89 Ha wilayah daratan dan 3.415 Ha wilayah perairan sampai sekarang.
Penataan kawasan pengelolaan TNBB sesuai fungsi peruntukannya telah ditetapkan berdasarkan SK Dirjen Perlindungan dan Konservasi Alam No.186/Kpts/Dj-V/1999 tanggal 13 Desember 1999 tentang pembangian zonasi sebagai berikut:
- Zona Inti ; merupakan zona yang mutlak dilindungi, tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia kecuali yang berhubungan dengan kepentingan penelitian dan ilmu pengetahuan ; meliputi daratan selauas 7.567,85 hektar dan perairan laut seluas 455.37 hektar
- Zona Rimba; merupakan zona penyangga dari zona inti, dapat dilakukan kegiatan seperti pada zona inti dan kegiatan wisata alam terbatas ; meliputi daratan selauas 6.009,46 hektar dan perairan laut seluas 243.96 hektar
- Zona Pemanfaatan Intensif ; dapat dilakukan kegiatan seperti pada kedua zona di atas, pembangunan sarana dan prasarana pariwisata alam dan rekreasi atau penggunaan lain yang menunjang fungsi konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya ; meliputi daratan selauas 1.645,33 hektar dan perairan laut seluas 2.745.66 hektar
- Zona Pemanfaatan Budaya ; Zona ini dapat dikembangkan dan dimanfaatkan terbatas untuk kepentingan budaya atau relegi ; selauas 245,26 hektar yang digunakan untuk kepentingan pembangunan sarana ibadat umat Hindu.
Sejarah Organisasi
Pengelolaan hutan Bali Barat sebelum dikelola oleh Sub Balai Perlindungan dan Pelestarian Alam (PPA) Bali masih dalam pengelolaan Cabang Dinas Kehutanan Singaraja dan Jembrana sebagai unit dari Dinas Kehutanan Propinsi Bali, sedangkan unit pengelola terkecil wilayah yaitu RPH (Resort Pemangkuan Hutan) Penginuman, Sumberklampok dan Sumberkima.
Kawasan Suaka Alam berupa cagar Alam atau Suaka Margasatwa dikelola oleh Sub Balai Perlindungan dan Pelestarian Alam (PPA) / SBKSDA Provinsi Bali sebagai Unit Pelaksana Teknis Dirjen PPA dengan unit pemangku terkecil di lapangan yaitu Kepala Resort sebagai pelaksana pengamanan dan perlindungan, yang dikepalai oleh Kepala Sub Seksi / Rayon Kawasan Suaka Margasatwa Bali Barat / Sub Seksi Wilayah PPA yang setara Eselon V.
Bedasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 096/Kpts-II/1984 tanggal 12 Mei 1984 tentang Organisasi dan Tata Kerja Taman Nasional Bali Barat, Suaka Alam Bali Barat dikelola se bagai UPT Taman Nasional Bali Barat yang dikepalai oleh seorang Kepala yang setara Eselon IV, yang dibantu oleh Kepala Sub Bagian Tata Usaha, Kepala Seksi Pemanfaatan, Kepala Seksi Penyusunan Program. Sedangkan pelaksana teknis di lapangan adalah Kelompok Perlindungan, Pengawetan, dan Pelestarian.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 185/Kpts-II/1997 tanggal 31 Maret 1997 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional dan Unit Taman Nasional, meningkatkan pengelolaan Taman Nasional sebagai Balai yang dipimpin oleh seorang Kepala Balai setara Eselon III, yang dalam pengelolaannya dibantu oleh Kepala Sub Bagian Tata Usaha, Kepala Seksi Konservasi yang membawahi tiga sub seksi wilayah konservasi (Jembrana, Buleleng dan Labuan Lalang). Dan untuk pelaksana teknis di lapangan dibantu kelompok jabatan fungsional yang teridi dari Fungsional Jagawana, Fungsional Teknisi Kehutanan Bidang Konservasi Jenis Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Fungsional Teknisi Kehutanan Bidang Konservasi Kawasan dan Lingkungan dan Fungsional Teknisi Kehutanan Bidang Bina Wisata Alam.
Nuansa otonomi daerah memerlukan desentralisasi koordinasi birokrasi sehingga pengelolaan Taman Nasional Bali Barat sesuai dengan Surat keputusan Menteri Kehutanan No. 6186/Kpts-II/2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional dibagi menjadi 3 wilayah pengelolaan yaitu Seksi Konservasi Konservasi Wilayah I di Jembrana, Seksi Konservasi Wilayah II di Buleleng dan Seksi Konservasi Wilayah III di Labuhan Lalang dengan Kepala Seksi sebagai pejabat pemangku Wilayah yang setara Eselon IV.